“Syiir Madura Fi Qisah Ratu Abrahah”, Cerita Kiai As’ad Jelang Kelahiran Nabi
SYAMSUL A. HASAN5599x ditampilkan Wasiat Kyai
Syiir Madura Fi Qisah Ratu Abrahah ban Serdadunah Sabidak Ibu Bakal Agujur Ka’bah Saiket Ari Sabellunnah Nabi Muhammad SAW Lahir Watusamma Wiladatuhu ‘Amul Fiil (Syiir Madura dalam Kisah Ratu Abrahah dan Serdadunya Enam Puluh Ribu Bakal Menghancurkan Ka’bah Lima Puluh Hari Sebelum Nabi Muhammad SAW Lahir dan Kelahirannya Dinamakan dengan Tahun Gajah), merupakan salah satu karya Kiai As’ad. Syiir tersebut, termasuk sambutan pada teks-teks maulid Nabi dengan bahasa lokal. Syiir Madura Fi Qisah Ratu Abrahah merupakan teks Maulid Nabi dengan kekhususan sebagai teks Abrahah karena latar waktunya adalah 50 hari sebelum kelahiran Nabi, sehingga sosok Nabi tidak ada di dalamnya, sedangkan yang menjadi fokus adalah Ratu Abrahah.
Naskah “Syiir Madura Fi Qisah Ratu Abrahah”, ditulis pada tahun 1920-an yang ditulis dalam huruf pegon, berbentuk syiir, dan berbahasa Madura. Naskah ini disalin Abdus Shomad Al-Bukhori, pada 24 Safar 1392 H/ 9 April 1972 M. “Syiir Madura Fi Qisah Ratu Abrahah”, pernah diteliti oleh Mashuri, mahasiswa pascasarjana Ilmu Sastra UGM dengan judul tesis, “Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah Suntingan Teks dan Analisis Resepsi Sastra”.
Menurut Mashuri, dalam tradisi sastra Madura, posisi “Syiir Madura Fi Qisah Ratu Abrahah”, termasuk rumit karena bila dilihat dari genrenya, ia termasuk dalam pembabakan sastra Madura lama, tetapi genre tersebut masih ditulis dan dibaca hingga kini. Ihwal genre ini marak digunakan para kiai dan tokoh pesantren di Jawa dan Madura sebagai bentuk pengungkapan kreatif yang tidak hanya bertumpu pada permainan bahasa atau bersajak saja, tetapi memiliki keterkaitan dengan faedahnya, sebagai sarana dalam berdakwah.
“Syiir Madura Fi Qisah Ratu Abrahah”, termasuk sedikit berbeda karena syiir ini secara isi mengacu pada puisi naratif sebagaimana dalam konvensi syair di Melayu dan dituliskan sehingga berbeda dengan syiir yang dihapal untuk dibacakan, hal itu sebagaimana syair-syair Melayu yang ditulis. Meski begitu, bukan berarti dengan adanya penulisan itu, “Syiir Madura Fi Qisah Ratu Abrahah”, dikenal pembaca kekinian, bahkan oleh kalangan masyarakat santri sendiri. Apalagi secara pernaskahan, naskah “Syiir Madura Fi Qisah Ratu Abrahah”, termasuk naskah tunggal.
Dari kerja filologi yang menghasilkan, menurut Mashuri, suntingan teks dimungkinkan pembaca generasi kini dapat membacanya. Apalagi “Syiir Madura Fi Qisah Ratu Abrahah”, merupakan teks sambutan yang memiliki jaringan dengan berbagai tradisi penulisan syair, termasuk tradisi puisi Maulid Nabi dan kisah-kisah yang termaktub dalam karya lainnya yang termasuk dalam wilayah teks keagamaan dan teks sejarah. Dengan bertumpu pada kisah dalam teks keagamaan, terjadilah elaborasi kesastraan baik dari segi bentuk, plot dan isinya.