Syair Aqaid Saeket, Perjumpaan Budaya Pesantren dan Madura
SYAMSUL A. HASAN13045x ditampilkan Berita
Menerjemah, menyadur, dan menyarahi karya kiai-kiai kita dengan menyertakan teks-teks aslinya merupakan keniscayaan untuk mempertahankan dan melestarikan karya-karya kiai kita. Sesungguhnya upaya menerjemah, menyadur, atau menyarahi karya-karya tersebut merupakan perjumpaan intelektual pemikiran dan silaturrahim ruhaniyah dengan kiai kita. Begitu pula, para pembaca karya penerjemah, penyadur, atau pensyarah akan diajak untuk bersilaturrahim dengan kiai-kiai kita.
Demikian salah satu kesimpulan penting dalam bedah buku “Aqaid Saekat” tadi malam. Nara sumber bedah buku tersebut, KH. Zawawi D. Imron (Budayawan Madura), KHR. Ach. Azaim Ibrahimy (Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo), dan Ust. Ach. Muhyiddin Khatib (Editor buku Aqaid Saeket). Bedah buku tersebut diadakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Ibrahimy. Sedang pesertanya sekitar lima ribuan dari kalangan mahasiswa, dosen, dan tokoh-tokoh NU.
Menurut Kiai Zawawi, Syair Aqaid Saeket yang digubah oleh Kiai Syamsul dan Kiai As’ad merupakan upaya kedua kiai tersebut untuk memudahkan pemahaman masyarakat Madura tentang akidah ahlussunnah wal jamaah. Di lain pihak, masyarakat Madura membutuhkan kehadiran syair tersebut agar mereka selamat. Sebab dalam masyarakat Madura terdapat pepatah: “abhental syahadat, asaphok iman, apajhung rahmate Allah maleh paste selamet”. Di sinilah terdapat perjumpaan antara tradisi Madura dan tradisi pesantren.
Upaya melakukan syarah terhadap syair Aqaid Saeket yang dilakukan para santri Ma’had Aly dalam buku tersebut, menurut Kiai Zawawi, merupakan bentuk pertemuan dan bersatunya pemikiran antara kiai dan santri. Para santri mencoba untuk menjelaskan secara rinci maksud kedua kiai dalam syairnya. “Kita dapat bertemu dan mengenal lebih mendalam dengan Allah dan Rasulullah melalui buku ini,” imbuh salah satu penyair nasional tersebut.
Menurut Kiai Azaim kunci utama untuk memahami Syair Aqaid Saeket adalah menyatunya hati kita dengan sang penggubah, yaitu Kiai Syamsul dan Kiai As’ad. Karena itu, sebelum membaca syair tersebut kita dianjurkan untuk bertawassul kepada kedua beliau. Ketika kita membaca Syair Aqaid Saeket, kita harus membayangkan ditalqin oleh beliau. “Bila santri bergurau ketika membaca Aqaid Saeket tersebut berarti kedua kiai tidak hadir. Ia merasa tidak dibimbing Kiai Syamsul dan Kiai As’ad,” imbuhnya.
Menurut Kiai Azaim, Kiai Syamsul memulai syair tersebut dengan memakai istilah “kauleh” bukan yang lain padahal banyak juga padanan kata tersebut. Dengan memakai “kauleh” berarti menandakan hamba, harus merendahkan hati, kita harus menghambakan diri baru kemudian kita dapat meneruskan “anyakseen”, menyaksikan.
Ketika kita membaca sifat-sifat yang wajib bagi Allah dan Rasul-Nya, diri kita merasa mengagungkan Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, ketika membaca sifat-sifat yang muhal bagi Allah dan Rasul, kita merasa membuang sifat-sifat tersebut. “Keterangan tersebut terdapat dalam kitab Asasul Muttaqin karya Kiai Syamsul,” ungkap Kiai Azaim.
Secara historis, menurut Kiai Azaim, Syair Aqaid Saeket tersebut termasuk bacaan yang disenangi Kiai Syamsul. Dulu, Kiai Syamsul menulis Syair Aqaid Saeket di dinding rumahnya.
Dalam pandangan Kiai Zawawi, Syair Madura zaman dulu termasuk budaya popular. Tapi untuk zaman sekarang, sudah jarang orang yang mengerti bahasa Madura secara baik dan benar. Karena itu, upaya penerjemahan dan pensyarahan karya-karya sastra merupakan keniscayaan untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi yang luhur tersebut. Kiai Azaim juga sependapat untuk melakukan penerjemahan dan pensyarahan karya-karya sastra kiai-kiai kita dengan menyertakan karya aslinya.