Kebencian dan Matinya Nalar

ADMINPESANTREN Selasa, 17 Juli 2018 08:14 WIB
3388x ditampilkan Wasiat Kyai

Oleh: Gus M. Khalil Abd. Jalil

 

Pagi ini saya mendapatkan kiriman dua pesan dari dau sahabat yang berbeda. Judul dari kedua pesan tersebut berbunyi "waspadai agama baru yang meniru gerakan shalat" dan "hati-hati dengan Al-Qur'an  palsu". Saat saya tanyakan darimana sumber beritanya? dia jawab saya copy paste dari Group sebelah. Ada buktinya apa tidak? Dia jawab dengan lugunya, Saya tidak tahu, saya hanya nge-share.

 

Pesan seperti ini tidak hanya saya yang menerima, tidak hanya dia yang copy paste,  karena saya juga menemukan pesan yang sama di group yang berbeda. Mungkin anda juga pernah menerima pesan yang semisal, atau jangan-jangan malah anda termasuk di antara yang meng-share berita semacam itu.

 

Saat menerima pesan-pesan seperti itu, ada tanggapan variatif dari sebagian anggota grup. Di antara Komentar-komentar tersebut adalah,"Astaghfirullah", "waspadalah", "izin share ya?", "sumbernya mana? dll". Dari berbagai komentar tersebut, saya berasumsi lebih banyak yang mengamini atau menyetujui isi berata daripada mempertanyakan kebenaran pernyataan.

 

Komentar-komentar di grup media sosial tersebut bisa diklasifikasi setidaknya menjadi dua:

Pertama, Kritis. Kritis dalam tulisan ini bukan untuk menunjukkan kondisi pasien di rumah sakit. Kritis dalam tulisan ini bermaksud menempatkan suatu berita atau pernyataan sesuai porsi dan proporsinya. Menempatkan sesuatu sesuai dengan ukuran dan ketepatannya. Pertanyaan-pertanyaan kritis dibutuhkan agar sesuatu itu tepat guna dan bijaksana.

 

Dalam menanggapi pesan-pesan semacam tadi, Pertanyaan-pertanyaan kritis biasanya diajukan untuk mengetahui validitas informasi, kredibilitas sumber dan  kegunaannya bagi penerima. Misal, mana buktinya? Kok tidak masuk akal ya? mana linknya? Apa situsnya? Siapa penulis atau pembicaranya? Apa hubungannya dengan grup kita? dll. Sayangnya Pertanyaan-pertanyaan kritis tidak banyak ditemukan.

 

Kedua, Emosional. Emosional biasanya dikaitkan dengan sifat-sifat psikologis manusia, marah, cinta, suka, tidak suka, benci, dll. Kalau diperhatikan Informasi-informasi yang beredar akhir-akhir ini lebih banyak membangkitkan emos negatif, ketidak sukaan dan kebencian. Ketidak sukaan sebenarnya alami dan tidak bisa disalahkan. Saya tidak suka rasa pahit itu wajar, saya tidak suka kopi itu biasa, saya tidak suka si A, si B, si C, itu normal, tetapi saat ketidaksukaan meningkat hingga derajat kebencian, maka harus diwaspadai.

 

Kebencian adalah ketidak sukaan yang lama ditahan, disimpan. Terkadang kebencian berasal dari trauma yang dialami sebelumnya. Terlepas dari benar tidaknya informasi bernada kebencian tersebut, sebenarnya tidak ada manfaatnya bagi psikis manusia. Celakanya, emosi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan destruktif seseorang atau sekelompok orang.

 

Di sisi lain, manusia punya bakat alami untuk bertahan, saat pertahanan terancam maka kapan saja dan secara instingtif bisa menyerang. Beragama juga merupakan salah satu kecenderungan instingtif manusia, saat agamanya diancam maka emosinya bangkit untuk bereaksi baik defensif ataupun ofensif.

 

Nah, informasi semacam tadi, disadari atau tidak, disebarkan untuk menciptakan psikologi masyarakat yang pembenci sekaligus terancam. men-share ulang adalah bagian dari tindakan bertahan sekaligus menyerang karena tertanamnya kebencian dan karena agamanya diserang. Saat kebencian semakin meningkat maka cacian, makian, hujatan, menjadi jalan untuk menyerang.

 

Bukankah yang me-repost dan me-reshare berita-berita demikian banyak yang berpendidikan? Saat emosi yang dimainkan maka nalarnya tidak berfungsi. Saat kebencian mewatak maka akalpun tidak bisa mengimbangi, saat merasa haknya terancam tidak ada aturan yang membatasi. Waspadalah!